Situs Megalitikum Gunung Padang: Kuil Matahari SUNDAPURA
 
     
      
           
     
      
Situs Megalitikum Gunung Padang: Kuil Matahari SUNDAPURA
Gunung Padang di Cianjur adalah situs sangat tua (megalitikum) yang dibangun oleh leluhur bangsa Galuh Agung (*Nusantara), mereka menempatkan dan menata gunung Padang sebagai bangunan suci atau “pura” yang pada umumnya disebut “Sundapura“ (bangunan suci bangsa Matahari).
Istilah “Padang” berasal dari beberapa suku kata, yaitu :
- Pa = Tempat
- Da = Besar / Gede / Agung / Raya
- Hyang = Eyang / Moyang / Biyang / Leluhur Agung
Jadi arti kata “Padang” itu adalah Tempat Agung para Leluhur atau boleh jadi maknanya Tempat para Leluhur Agung.
Keberadaan nilai “padang” di gunung Padang tidak terlepas dari keberadaan Parahyang yang berpusat di Jawa Barat, dengan demikian gunung Padang merupakan bagian dari Parahyang yang artinya adalah;
- Pa = Tempat
- Ra = Matahari
- Hyang = Eyang / Moyang / Biyang / Leluhur Agung
Lebih kurang maknanya (maksudnya) adalah “Tempat Leluhur Matahari” 
atau “Tempat Leluhur bangsa Matahari” yang ditandai dengan adanya pura 
agung Gunung Parang (Pa-Ra-Hyang) di Jati Luhur – 
Purwakreta. Diduga seluruh bentuk gerbang pura dan gerbang keratuan 
(keraton) Nusantara yang ada pada saat ini mengacu kepada bentuk dasar 
Gunung Parang di Jati Luhur – Purwa Kreta ini (?)… (*perlu diteliiti 
lebih lanjut)
Situs Megalitikum Musikal Purba Cianjur terbesar di Asia
     
     
      
Kumpulan artikel dari berbagai sumber
Pada
 tanggal 15 Agustus 2009 lalu, saya berkesempatan mengikuti “Tur Situs 
Megalitik Gunung Padang”. Situs Gunung Padang terletak di Desa 
Karyamukti, Kecamatan Campaka, Kabupaten Cianjur. Konon, menurut para 
ahli arkeologi, situs ini merupakan situs megalitik terbesar di Asia 
Tenggara. Pada judul tulisan ini, saya menambahkan tanda tanya pada 
akhir kalimat judul karena masih membutuhkan pembuktian lebih lanjut 
untuk meyakinkan bahwa Situs Gunung Padang merupakan situs megalitik 
terbesar di Asia Tenggara.
Asyiknya, “Tur Megalitik Situs Gunung Padang” dimulai dengan naik 
kereta ekonomi jurusan Bandung – Cianjur. Jalur kereta Bandung – Cianjur
 merupakan jalur kereta api tertua, yang mulai dioperasikan pada tahun 
1884. Sepanjang jalur ini, banyak terdapat potensi geowisata tentang 
pembentukan Danau Bandung Purba. Untungnya, pemimpin dan interpreter tur
 adalah pakar geologi, jadi, di sepanjang perjalanan dengan kereta ini, 
kami  mendapatkan penjelasan ttg berbagai  fenomena geologis yang 
dilalui.  Sebetulnya, tidak hanya peserta tur yang mengikuti penjelasan 
ini, ketika Pak Budi -interpreter- menunjukkan sesuatu di luar jendela, 
penumpang yang lain -plus penjual yang berlalu lalang- pun ikut melongok
 ke jendelanya  masing-masing…
Gambar 1 Suasana kereta api ekonomi Bandung – Cianjur yang membawa peserta tur
Jalur Bandung – Cianjur merupakan jalur yang sangat sepi karena hanya
 melayani satu rute kereta api, yaitu Bandung – Cianjur – Bandung, 
berangkat dari Bandung pukul 08.10, dan kembali lagi dari Cianjur pukul 
14.00. Karena jalurnya sepi, kereta api Bandung – Cianjur ini bisa 
berhenti hampir di setiap stasiun kereta api yang dilewatinya.
Rombongan tur sendiri turun di Stasiun Cipeuyeum. Perjalanan Bandung –
 Stasiun Cipeuyeum ditempuh dalam waktu 1,5 jam. Stasiun Cipeuyeum ini 
merupakan stasiun di pinggir Kota Cianjur. Di sana kami sudah dijemput 
oleh bis yang akan membawa kami ke Situs Gunung Padang. Perjalanan dari 
Stasiun Cipeuyeum ke Gunung Padang ditempuh dalam waktu sekitar 1 jam 45
 menit, tetapi kami singgah  dulu di Stasiun Lampegan yang memiliki 
terowongan kereta api yang juga sudah tua umurnya.
Gambar 2 Stasiun Cipeuyeum, Cianjur
Stasiun Lampegan saat ini sedang dalam perbaikan untuk dapat 
dioperasikan lagi pada tahun 2010 nanti. Terowongan kereta api Lampegan 
dibangun selama tiga tahun, sejak tahun 1879 – 1882. Informasi ini 
tercantum di atas mulut  terowongan tersebut. Memasuki terowongan, 
suasana gelap dan dinginlah yang kami rasakan. Hanya sekitar 10 menit 
kami berada di dalam terowongan karena terowongan pun sedang dalam 
renovasi.
Gambar 3 Terowongan Lampegan, terowongan tua yang dibangun selama tiga tahun
Perjalanan kami lanjutkan ke Situs Gunung Padang. Tepat 15 menit, 
kami tiba di perkebunan teh milik PTPN VIII Panyairan yang terletak di 
sekitar  Situs Gunung Padang. Perjalanan harus dihentikan di sana karena
 bis yang kami gunakan, tidak memungkinkan untuk masuk sampai ke kaki 
Gunung Padang. Kendaraan  yang lebih kecil  dapat langsung sampai ke 
kaki Gunung Padang.
Gambar 4 Dari perkebunan teh Penyairan inilah pendakian ke Situs Gunung Padang dimulai
Dari sini kami berjalan kaki sekitar 1 km, sebetulnya hal ini tidak 
menjadi masalah karena kami berjalan melalui perkebunan teh yang 
pemandangannya sangat indah, namun karena saat itu hampir tengah hari, 
jadi terasa agak panas.
Setelah melalui jalan-jalan mendaki, menurun, mendaki lagi, akhirnya 
kami tiba di kaki Gunung Padang sekitar satu  jam kemudian. Karena hari 
sudah siang, kami memutuskan untuk menyantap makan siang dulu sebelum 
melanjutkan pendakian ke Situs Gunung Padang. Sedapnya…, makan siang 
yang disediakan oleh masyarakat adalah makanan khas Sunda, yaitu nasi 
liwet, ikan asin goreng, ayam goreng, pepes ikan mas, dan tidak 
ketinggalan karedok.
Gambar 5 Perjalanan mendaki menuju kaki Gunung Padang
Setelah sejenak beristirahat dan sholat, kami mulai melakukan 
‘pendakian’ ke Situs Gunung Padang. Untuk menuju Situs Gunung Padang, 
terdapat dua alternatif jalan. Alternatif pertama adalah jalan utama, 
mendaki sekitar 370 anak tangga dengan kemiringan yang cukup tajam, 
hampir 40 derajat. Alternatif kedua adalah mendaki sekitar 500 anak 
tangga dengan kemiringan yang lebih landai. Kami memutuskan untuk 
mengambil jalan utama  yang jarak tempuhnya lebih pendek dan terbuat 
dari batuan asli, walaupun dengan kemiringan yang lebih tajam.
Gambar 6 Jalan masuk Situs Gunung Padang, di sisi kiri terdapat anak-anak tangga menuju situs
Satu per satu anak tangga kami daki. Anak-anak tangga ini disusun 
dari batu-batu berbentuk kolom poligonal yang dipasang melintang. Dengan
 sedikit terengah-engah, akhirnya 15 menit kemudian, kami tiba di Situs 
Gunung Padang. Woww…!! Pemandangan k depan dan ke belakang betul-betul 
menakjubkan!
Gambar 7 Perjalanan mendaki sekitar 370 anak tangga dan pemandangan di belakangnya
Situs Gunung Padang ini terdiri dari lima pelataran (bisa juga 
menjadi 7 pelataran jika bagian-bagian tertentu di bawahnya dianggap 
sebagi pelataran). Masing-masing pelataran berada lebih tinggi sekitar 
50-cm dari pelataran sebelumnya.
Beberapa peserta tur yang kelelahan langsung merebahkan diri ke atas 
rerumputan begitu tiba di  pelataran pertama. Pelataran pertama adalah 
pelataran dengan gerbang kecil yang terbentuk oleh kolom-kolom batu yang
 berdiri berhadapan. Pada pelataran pertama ini terdapat batu-batu 
berwarna abu-abu berbentuk kolom yang masih tersusun rapi membentuk 
ruang persegi panjang. Batu-batuan di Gunung Padang adalah batuan jenis 
andesit basaltis yang merupakan hasil pembekuan magma pada lingkungan 
sisa-sisa gunung api purbakala pada jaman Pleistosen Awal, sekitar 2 – 1
 juta tahun yang lalu. Karena pengaruh proses alam, batu-batuan ini 
membentuk dirinya menjadi kolom-kolom poligonal segi empat, lima, enam, 
delapan, yang permukaannya sangat halus sehingga banyak orang yang 
mengira batu-batuan ini merupakan hasil karya tangan manusia jaman 
dahulu.
Gambar 8 Pelataran pertama Situs Gunung Padang
Arsitek megalitik yang diperkirakan hidup sekitar 6000 tahun yang 
lalu, menyusun kolom-kolom batu tersebut menjadi sebuah bangunan 
berundak-undak yang sangat indah. Sayangnya, letak batu-batuan tersebut 
saat ini sudah banyak yang tidak beraturan, tergeletak begitu saja. 
Menurut Pak Dadi, petugas di situs Gunung padang, sebelum dianggap 
memiliki nilai budaya yang tinggi, Gunung Padang merupakan sumber kayu 
bagi para pencari kayu. Banyak pohon-pohon besar yang tumbuh di sini dan
 ditebang oleh para pencari kayu. Selain itu, Gunung Padang juga pernah 
dimanfaatkan sebagai ladang oleh masyarakat sekitar. Penebangan dan 
pengangkutan pohon serta perladangan lah yang mengubah posisi bebatuan 
dari posisi aslinya. Untungnya, masih terdapat beberapa batuan yang 
tersusun rapi pada posisi aslinya sehingga nilai-nilai budayanya tidak 
hilang begitu saja.
Pada pelataran pertama, terdapat batu berbentuk poligon yang disebut 
batu gamelan. Konon, pada jaman dahulu, dari arah Gunung Padang  ini 
kerap terdengar bunyi-bunyi gamelan setiap malam Selasa dan malam Jumat.
 Sampai saat ini bunyi gamelan ini sesekali saja terdengar, dikalahkan 
oleh bunyi-bunyi dari sumber-sumber suara lain yang lebih modern, 
seperti TV, radio, maupun kendaraan bermotor. Salah satu petugas yang 
mengantar kami, memainkan batu gamelan tersebut, terdengarlah alunan 
musik tradisional Sunda dari pukulan-pukulan batu kecil pada batu 
gamelan. Para seniman tradisional Sunda, seperti pesinden, dalang, konon
 sering melakukan doa di sini sebelum melakukan pertunjukan.
Gambar 9 Batu gamelan yang sedang dimainkan oleh pemandu kami, Pak Nanang
Pada pelataran berikutnya, Pak Dadi, menunjukkan kepada kami batu 
dengan cerukan yang menyerupai bentuk telapak kaki harimau berukuran 
besar.
Di pelataran selanjutnya, terdapat batu gendong. Menurut Pak Dadi, 
jika ada yang berhasil mengangkat batu gendong tersebut, maka semua 
keinginannya akan terwujud. Penasaran, saya mencoba untuk mengangkat 
batu tersebut. Ternyata, saangaat berat! Beberapa kali saya coba, tidak 
satu kali pun batu itu terangkat oleh saya. Beberapa peserta tur lain 
pun mencoba mengangkat batu gendong, tetapi tidak ada satu orang pun 
yang berhasil, termasuk Pak Dadi….!!
Pada pelataran kelima, terdapat tempat yang dianggap memiliki aura 
paling kuat di Gunung Padang. Di tempat ini terdapat lubang kecil di 
bawah tanah yang ditutupi oleh batu-batu poligonal. Menurut Pak Dadi, 
lubang  ini pada awalnya berukuran besar, bahkan manusia pun bisa masuk 
ke dalamnya, tetapi untuk menghindari hal-hal yang membahayakan 
pengunjung, lubang ini sebagian ditutup olehnya. Di tempat inilah 
orang-orang yang percaya pada kekuatan mistis Gunung Padang bersemedi 
untuk mendapatkan kesuksesan dan keberhasilan yang diinginkannya.
Kalau merujuk pada sejarah Jawa Barat, Gunung Padang ini diperkirakan
 merupakan salah satu kebuyutan yang ditemukan oleh seorang pangeran 
Kerajaan Sunda yang berkelana menjelajahi tempat-tempat keramat di Pulau
 Jawa dan Bali pada sekitar abad ke-15. Konon, tujuan perjalanannya 
adalah untuk meningkatkan ilmu yang dimilikinya.
Pangeran ini adalah pangeran yang mendapat julukan Bujangga Manik. 
Dari perjalanannya, Bujangga Manik berhasil mencatat sekitar 450 nama 
geografis yang sebagian besar masih dapat dikenali sampai saat ini. 
Catatan dalam lembar-lembar daun lontar tersebut sekarang tersimpang di 
Museum Bodleian, Oxford, Inggris. Dari catatan tersebut diketahui bahwa 
Bujangga Manik pernah melakukan persiapan untuk perjalanan spiritualnya 
ke Nirwana di suatu tempat kebuyutan yang ditemukannya di hulu Sungai 
Cisokan, Cianjur. Walaupun belum ada kepastian di mana kebuyutan di hulu
 Sungai Cisokan yang disebut oleh Bujangga Manik, tetapi satu-satunya 
tempat kebuyutan yang ada di hulu Sungai Cisokan – Cikondang, Cianjur 
adalah Gunung Padang.
Nampaknya, masih banyak cerita bernilai tinggi yang dapat digali dari
 Situs Gunung Padang. Ini tentu saja membutuhkan dukungan para peneliti 
arkeologi maupun sejarah. Potensi arkeologi, sejarah, maupun geologi 
Gunung Padang yang masih belum digali secara optimal ini merupakan 
kekayaan alam dan budaya yang sangat tinggi bagi Cianjur, dan bahkan 
bagi Indonesia.
Kami duduk-duduk menikmati angin sepoi-sepoi dan bertukar cerita 
tentang kemungkinan sejarah geologis dan kebudayaan situs ini  di 
pelataran ke lima hingga sore hari. Kami kemudian turun kembali ke kaki 
Gunung Padang. Kali ini, kami mengambil jalan yang lebih landai agar 
pengalaman yang kami dapatkan lebih utuh. Melalui jalan ini dapat 
dilihat sisi situs Gunung Padang yang dibentuk dari tumpukan (mungkin) 
ribuan batu poligonal ini.  Wah, sungguh  mengesankan…
Saya pasti akan kembali lagi ke sini. Sampai jumpa lagi, Gunung Padang!
Alat transportasi pengantar ke situs megalitikum gunung padang